Waktu itu aku ngerasa nggak enak badan selama beberapa hari. Mual, lemes, demam ringan. Kupikir cuma masuk angin biasa. Tapi makin hari, kulitku mulai keliatan agak pucat kekuningan. Mataku? Lebih parah—bagian putihnya berubah jadi kuning. Teman kantor langsung bilang, “Eh lo kuning deh, jangan-jangan hepatitis?”
Aku sempat denial. Masa sih? Tapi setelah periksa ke dokter dan cek darah, ternyata benar. Aku kena hepatitis A. Itu jadi titik balikku buat belajar lebih banyak tentang penyakit ini—yang ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar warna kuning di kulit.
Karena setelah ngalamin sendiri, aku jadi sadar betapa pentingnya kita paham soal hepatitis. Nggak cuma buat jaga diri, tapi juga buat ngerti gimana menjaga orang-orang terdekat supaya nggak ketularan.
Apa Sebenarnya Hepatitis Itu?
Hepatitis itu secara harfiah berarti radang hati (hepar = hati, -itis = peradangan). Penyebabnya bisa banyak—virus, alkohol, obat-obatan, sampai penyakit autoimun. Tapi yang paling umum dikenal masyarakat adalah hepatitis virus: A, B, C, D, dan E.
Masing-masing jenis punya karakteristik, cara penularan, bahkan tingkat keparahan yang beda-beda.
-
Hepatitis A & E: Ditularkan lewat makanan/minuman yang terkontaminasi virus. Umumnya sembuh total, tapi bisa berat.
-
Hepatitis B & C: Menular lewat darah, hubungan seksual, atau dari ibu ke anak. Bisa jadi kronis dan sebabkan kerusakan hati jangka panjang.
-
Hepatitis D: Cuma bisa terjadi kalau sudah terinfeksi Hepatitis B.
Dan yang aku kena waktu itu, Hepatitis A, biasanya disebut hepatitis akut. Tapi tetap bikin hidupku jungkir balik selama beberapa minggu.
Gejala yang Aku Rasakan (dan Sering Diabaikan Orang)
Hepatitis itu tricky. Gejalanya bisa samar dan nggak langsung kelihatan. Aku sendiri nggak ngerasa sakit parah di awal. Justru kayak flu ringan. Tapi makin lama makin jelas:
-
Badan gampang capek banget, padahal nggak ngapa-ngapain
-
Mual terus, apalagi kalau cium bau minyak goreng
-
Sakit perut kanan atas
-
Urin jadi gelap kayak teh
-
Feses pucat
-
Mata dan kulit mulai kuning
Saat itulah aku langsung ke dokter. Dan ini penting banget: kalau kamu atau orang terdekat mengalami gejala healthy ini lebih dari 3 hari, jangan tunda periksa. Soalnya semakin cepat dideteksi, semakin besar peluang sembuh total tanpa komplikasi.
Jenis Hepatitis dan Bahayanya
Setelah didiagnosis, aku jadi rajin cari tahu tentang jenis hepatitis lain. Dan jujur, beberapa bikin aku merinding karena efek jangka panjangnya.
Hepatitis A
-
Penyebab: Virus HAV, menyebar lewat makanan/minuman
-
Masa inkubasi: 15–50 hari
-
Biasanya akut dan sembuh sendiri
-
Tapi bisa fatal kalau menyerang orang lanjut usia atau penderita hati kronis
Jenis Hepatitis B
-
Virus HBV, penularan lewat darah, seks, dan dari ibu ke anak
-
Bisa jadi kronis dan sebabkan sirosis (kerusakan hati permanen) atau kanker hati
-
Ada vaksinnya, dan efektif banget!
Hepatitis C
-
Ditularkan lewat darah (transfusi, jarum suntik, tato)
-
Banyak yang tidak sadar karena bisa asimptomatik selama bertahun-tahun
-
Tidak ada vaksin, tapi kini ada obat antivirus yang sangat efektif
Jenis Hepatitis D & E
-
D jarang, tapi paling parah jika kena bersamaan dengan B
-
E mirip A, tapi bisa berbahaya bagi ibu hamil (tingkat kematian tinggi)
Menurut data WHO, hepatitis virus menyebabkan lebih dari 1 juta kematian per tahun. Ini bukan penyakit “biasa” yang bisa disepelekan.
Pengalaman Dirawat karena Hepatitis
Aku dirawat di rumah, karena dokter bilang kondisiku masih stabil. Tapi itu pun cukup bikin kalang kabut. Aku harus bed rest total, hindari makanan berat, dan stop semua aktivitas kerja.
Yang paling menyiksa justru rasa lemas dan kehilangan selera makan. Bahkan air putih pun terasa nggak enak. Tapi aku paksa karena harus tetap terhidrasi.
Obatnya bukan buat bunuh virus, tapi untuk meredakan gejala. Jadi, fokusku saat itu adalah menjaga pola makan, cukup istirahat, dan rutin kontrol ke dokter.
Kalau kamu punya gejala seperti aku dan masih dalam tahap ringan, biasanya perawatannya bisa dilakukan di rumah dengan pengawasan medis. Tapi kalau sudah komplikasi—misalnya enzim hati melonjak tinggi, muntah terus, atau tidak sadar—perlu rawat inap.
Pencegahan: Lebih Murah daripada Pengobatan
Setelah sembuh, aku jadi orang yang paling cerewet soal kebersihan makanan. Karena serius, sakit hepatitis itu nggak enak banget. Lebih baik mencegah dari awal.
Hepa titis A & E:
-
Cuci tangan pakai sabun
-
Hindari jajan sembarangan
-
Minum air matang
-
Vaksin hepatitis A (terutama buat kamu yang sering traveling)
Hepa titis B & C:
-
Vaksin hepatitis B (biasanya sudah diberikan sejak bayi)
-
Hindari penggunaan jarum suntik tidak steril
-
Jangan berbagi alat cukur, sikat gigi
-
Gunakan pengaman saat berhubungan seksual
-
Lakukan tes darah rutin (terutama kalau kamu rutin transfusi atau donor)
Vaksin hepatitis B bahkan sekarang sudah jadi bagian dari imunisasi dasar bayi di Indonesia. Tapi buat kamu yang belum tahu status kekebalannya, coba cek ke puskesmas atau klinik vaksin terdekat.
Hepatitis dan Mitos yang Aku Dengar (dan Tertawa Getir)
Setelah kena hepatitis, aku sering dapat “wejangan” dari orang sekitar. Beberapa lucu, beberapa mengkhawatirkan.
“Makan empedu ular, cepet sembuh!”
“Hepatitis itu kutukan karena terlalu banyak marah.”
“Kalau udah kuning, jangan makan pisang, nanti makin kuning!”
Meskipun niat mereka baik, tapi kita harus hati-hati terhadap mitos. Hepatitis itu penyakit medis, bukan mistis. Penanganannya harus pakai pendekatan medis juga. Boleh pakai herbal pendukung, tapi tetap konsultasi dulu ke dokter.
Komplikasi yang Bisa Terjadi
Kalau hepatitis tidak ditangani dengan baik—terutama B dan C—bisa berkembang jadi:
-
Sirosis hati: jaringan hati rusak dan membentuk jaringan parut
-
Gagal hati: hati tidak lagi berfungsi optimal
-
Kanker hati: terutama hepatocellular carcinoma
-
Infeksi kronis: virus menetap di tubuh dan menyebar ke orang lain
Yang bikin mengerikan, komplikasi ini sering berkembang tanpa gejala jelas. Banyak orang tahu dirinya terkena hepatitis B atau C bertahun-tahun kemudian, saat kondisinya sudah kronis.
Itulah kenapa penting banget untuk screening hepatitis B dan C, terutama kalau kamu punya faktor risiko.
Hidup Setelah Sembuh dari Hepatitis
Waktu aku dinyatakan sembuh total dari hepatitis A, aku sempat trauma. Takut kambuh. Takut tertular jenis lain. Tapi dari situ juga aku mulai hidup lebih sehat.
Beberapa hal yang aku ubah setelahnya:
-
Minum air matang dan bawa botol sendiri
-
Berani bilang “nggak” kalau diajak jajan sembarangan
-
Konsumsi makanan bersih, hindari gorengan jalanan
-
Rutin cek kesehatan, terutama fungsi hati (SGOT, SGPT)
-
Vaksin hepatitis B setelah dicek belum imun
Dan satu hal yang paling terasa: aku jadi lebih menghargai tubuh sendiri. Karena ternyata, kita nggak pernah tahu seberapa berharganya kesehatan… sampai tubuh kita protes.
Hepatitis dan Dukungan Emosional
Jangan remehkan dampak mental dari sakit hepatitis. Aku sempat merasa malu, takut ditolak, bahkan mengira ini aib. Apalagi karena stigma di masyarakat masih tinggi.
Tapi aku beruntung punya support system. Teman-teman yang pengertian, keluarga yang nggak menjauh, dan dokter yang edukatif banget.
Kalau kamu atau orang terdekat kena hepatitis, tolong jangan dikucilkan. Peluk mereka, edukasi diri, dan bantu mereka pulih secara utuh—bukan cuma fisik, tapi juga mentalnya.
Penutup: Waspada Bukan Berarti Parno
Hepatitis memang bikin takut. Tapi jangan sampai kamu hidup dalam ketakutan berlebihan. Justru dengan edukasi yang benar, kita bisa hidup lebih tenang.
Aku nulis artikel ini bukan karena sok tahu, tapi karena pernah ada di titik nol dan berhasil bangkit. Dan aku nggak pengin kamu ngalamin hal yang sama.
Yuk, rawat hati kita. Dalam arti harfiah maupun makna batiniah. Karena hati bukan cuma organ penting, tapi juga pusat dari kehidupan yang sehat dan penuh makna.
Jangan malas minum kalau nggak mau terkena: Dehidrasi: Kurang Cairan? Ini Gejala dan Cara Mengatasinya